Jumat, 15 Mei 2009

Panggung Politik Bergoyang

Oleh : Astri Sulastri Prasasti


Kisruh Pemilu yang tengah terjadi sejak dimulainya penghitungan suara DPR, DPD dan DPRD beberapa waktu lalu kian mewarnai panggung politik yang kini semakin ‘menggila’. Tuduhan demi tuduhan dilancarkan beberapa pihak terkait kecurangan yang banyak terjadi di lapangan. Banyaknya angka pelanggaran yang dilakukan oleh para calon penghuni legislatif tidaklah sedikit. Kecurangan-kecurangan yang terjadi ditemukan baik pada tahap pencontrengan, pengumpulan suara hingga tahap akhir penghitungan. Sudah banyak korban berjatuhan akibat perang politik yang banyak diderita oleh calon-calon legislatif yang gagal memperoleh suara hingga tidak sedikit yang dilarikan ke Rumah Sakit Jiwa, belum lagi korba-korban yang lari ke pesantren-pesantren, menjadi pasien pengobatan alternatif bahkan nekat bunuh diri. Ironis memang, dunia politik yang seharusnya diisi oleh orang-orang berpendidikan dihadapkan pada kenyataan bahwa calon-calon yang maju pada Pemilu lalu merupakan orang-orang kerdil yang tidak siap kalah. Bukannya berniat membangun negeri yang baru mulai merangkak, tetapi malah memperebutkan kursi kekuasaan yang menjadi ladang empuk untuk melakukan banyak tindakan KKN.
Rentetan kejadian menimbulkan tanda tanya besar dari kalangan masyarakat, seperti itukah tokoh-tokoh politik agung yang kini sedang bertengger di atas sana ?
Terlalu sempit, bila kita mengira semua pemimpin bangsa ini serendah yang bayak ditampilkan media. Namun, cukuplah banyak kejadian tersebut menjadi peringatan sekaligus renungan bagi bangsa ini dalam melihat sosok calon pemimpin. Bangsa ini harus benar-benar selektif dalam memilih wakilnya termasuk memilih presiden dan wakil presiden yang beberapa waktu lagi akan segera dilangsungkan dalam Pemilu 8 Juni 2009 mendatang. Perhelatan akbar yang akan dijalani oleh bangsa ini begitu pelik karena banyak diwarnai intrik-intrik politik dari para penguasa. Sejak diumumkannya hasil Pemilu legislatif memberikan gambaran cukup jelas siapa-siapa saja yang berhasil menarik simpati rakyat. Sejak itu, partai-partai sibuk mengadakan rapat besar dan komunikasi politik lainnya guna mengatur strategi politik yang katanya membawa nama rakyat. Koalisi-koalisi dibentuk terkait perpanjangan komunikasi politik yang juga diwarnai pengkhianatan antar Parpol satu sama lain. Calon-calon pemimpin eksekutif tertinggi negeri ini belum banyak yang menampakkan batang hidungnya, karena masih sangat banyak tahap-tahap yang harus dilewati oleh partai politik sebelum menentukkan `siapa menggandeng siapa`.
Sejak runtuhnya rezim orde baru pada tahun 1998 lalu, negeri ini mengalami pasang surut kepemimpinan. Belum ada satupun pemimpin yang dapat benar-benar mendapat simpati dari rakyat secara penuh. Hal ini ditandai dengan seringnya bergonta-ganti presiden dan merupakan hal yang wajar bagi negara demokrasi. Bahkan negara superpower seperti Amerika pun sempat mengalami pasang surut politik sebelum menjadi negara adidaya seperti sekarang ini. Namun, yang menjadi tidak wajar ialah apabila dinamika panggung politik malah menjadi sorotan media di tengah gunungan masalah yang melilit rakyat hingga rakyat menjadi cenderung apatis dengan segala dinamika yang berkembang. Wakil rakyat seakan tidak lagi memiliki urusan lain yang lebih penting selain membahas masalah-masalah yang membawa kepentingan golongan bahkan individu. Sehingga secara otomatis menghilangkan esensi dari demokrasi itu sendiri yang berfungsi sebagai pemerintahan rakyat. Di samping itu, dunia mencatat bahwa Indonesia menjadi salah satu negara yang benar-benar melaksanakan demokrasi dalam segala pengambilan keputusan. Bangsa ini patut bangga dengan predikat tersebut yang seolah memberikan angin segar di tengah rentetan masalah yang membelenggu negeri. Hanya saja, rasanya menjadi tidak penting jika menyadari bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah keikutsertaan rakyat dalam pesta demokrasi hanya mencapai angka 70% di luar masalah teknik. Angka ini menjadi salah satu bukti ketidakpedulian rakyat terhadap pemerintah hingga memunculkan konsepsi rakyat buta politik. Sebenarnya bukan rakyatnya yang salah memilih untuk tidak memilih, tetapi pemerintah sudah terlanjur menampilkan potret pemimpin yang sepertinya tidak akan mampu membawa rakyat menjadi lebih baik. Jadi, buat apa harus repot-repot memilih jika pada akhirnya tetap saja kecewa yang didapat ?
Hal ini yang kemudian menjadi masalah bagi pemimpin dan calon penguasa negeri ini. Memunculkan atmosfir politik yang sehat menjadi tuntutan agar rakyat tidak lagi merasa ada perang kepentingan yang mengatasnamakan rakyat, padahal rakyat sendiri harus bergulat dalam himpitan ekonomi, hingga masalah terkait bencana yng belakangan banyak terjadi. Pemerintah harus mampu menjawab tantangan-tantangan rakyat baik tersebut. Perlahan tapi pasti Indonesia mampu bangkit untuk dapat disandingkan dengan negara-negara yang telah lebih dahulu memperoleh kestabilan politik. Negara demokrasi tidak hanya akan menjadi cap semata bahkan dapat dibuktikan dengan partisipasi penuh dari rakyat diikuti dengan lahirnya pemimpin-pemimpin amanah yang mampu menyingkirkan anggapan miring mengenai pemimpin negeri ini, yang hanya bermodal janji manis dan menjadikan politik sebagai lahan mengais rezeki. Wakil-wakil rakyat termasuk presiden pada dasarnya adalah pegawai rakyat yang dibiayai oleh rakyat, yang berasal dari rakyat dan oleh karena itu sudah sepatutnya menjadi pelayan rakyat yang mau memikirkan nasib rakyat. Pelayan rakyat tidak hanya bertugas memenuhi segala kebutuhan rakyat tetapi juga mampu memberikan jalan keluar terbaik atas segala beban yang ditanggung rakyat bukan malah membebani rakyat dengan hutang negara yang terus bertambah. Lalu rakyat sendiri, haruslah dengan selektif memilih calon pelayan yang dapat melaksanakan semua tanggung jawab dan tidak akan mengkhianati kepentingannya sebagai seorang majikan. Hal ini dapat langsung diimpelentasikan dalam Pemilu Capres Cawapres mendatang. Satu suara dari rakyat sangat berarti, karena kita semua adalah sang majikan yang sedang mencari pelayan dalam rumah tangga bangsa. Jadi, sudah menjadi kewenangan majikan untuk memilih.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah anda sudah memiliki jiwa sebagai seorang majikan di negeri ini ?

Tidak ada komentar: