Oleh :Astri Sulastri Prasasti
Tanggal 20 Mei yang diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional rutin digelar di seluruh penjuru negeri dari tahun ke tahun. Hari Kebangkitan Nasional mengingatkan kita pada kejadian beberapa puluh tahun lalu ketika para pemuda menunjukkan eksistensinya di ladang perjuangan yang ditandai dengan berdirinya sebuah organisasi pemuda pertama, Boedi Oetomo. Esensinya, kesakralan hari Kebangkitan tidaklah terletak pada peristiwa apa yang terjadi pada waktu itu melainkan mengapa peristiwa tersebut dapat terjadi. Organisasi pemuda yang berhasil terbentuk hanya sebagai simbol dari sebuah pemikiran besar yang menjadi latar belakang dan pada akhirnya menuntut untuk diresapi lebih mendalam. Pembentukan Boedi Oetomo berangkat dari keprihatinan para pemuda akan nasib bangsa ini yang sepertinya belum berani melangkah karena ditunggangi oleh bangsa asing yang terus saja mengaduk-aduk kedaulatan bangsa Indonesia pada waktu itu. Keprihatinan pemuda ini kemudian melahirkan semangat perjuangan yang luar biasa sehingga berhasil membawa kedaulatan bangsa kembali dalam pelukan sang pertiwi. Semangat itu terus berkobar dan puncaknya terbingkaikan pada peristiwa yang terjadi 11 tahun lalu, ketika seluruh mahasiswa Indonesia, yang pada waktu itu dipelopori oleh mahasiswa UII bersatu, dan kemudian sanggup menumbangkan rezim orde baru yang diyakini telah terkotori dengan maraknya praktek KKN.
Namun kini 11 tahun sudah reformasi berjalan, semangat kebangsaan itu luntur sedikit demi sedikit seiring dengan masuknya era globalisasi yang mengantarkan banyak kebudayaan asing pada kita, khususnya generasi muda. Generasi muda merupakan agen penting dalam momen kebangsaan apalagi jika sekarang dihubungkan dengan kebangkitan. Cukuplah peristiwa-peristiwa lalu menjadi gambaran betapa pemuda memegang tombak perubahan dan sekaligus menjadi bukti bahwa pemuda memiliki andil besar sebagai penentu nasib bangsa beberapa tahun mendatang. Salah satu penyebab lunturnya jiwa kebangsaan dalam dada pemuda Indonesia adalah memasyarakatnya produk-produk kapitalisme yang banyak memberikan angin segar, sekaligus menjadi virus yang mematikan rasa berbudaya dengan segala daya tariknya. Lingkungan hedonis yang perlahan tercipta menyingkirkan kepribadian bangsa yang juga merupakan bagian dari budaya Indonesia. Belum lagi lahirnya kalangan matrealistis, konsumtif, serta non agamis yang sama sekali bertolak belakang dengan kepribadian bangsa ini, sungguh tragis. Bukannya memberikan peluang bagi anak bangsa untuk menggali ilmu dari bangsa lain tetapi malah menjerumuskan bahkan menghentikan jalannya proses belajar secara mandiri dalam kemasyarakatan. Anak-anak bangsa telah dicekoki oleh banyak fasilitas yang menawarkan berbagai kemudahan, kesenangan baik berupa musik, fashion, dan makanan hingga membuat otak-otak briliant serta otot-otot superman mereka tidak lagi berdaya guna bagi kemaslahatan umat. Hingga pada akhirnya tercipta pemuda-pemuda malas yang hanya bergantung pada teknologi tanpa memanfaatkan daya kreatifitas dan daya juang yang seharusnya masih bergelora dalam jiwa muda mereka. Diperparah lagi dengan perkembangan ilmu komunikasi yang semakin menambah luas wilayah epidemiologi virus globalisasi tersebut untuk merusak anak negeri. Padahal yang seharusnya terjadi adalah para pemuda menjadi first line deffense dalam menjaga kestabilitasan serta kemajemukan budaya.
Disadari atau tidak, globalisasi tidak akan dapat dihentikkan tetapi akan terus mengalami perkembangan. Maka yang seharusnya diubah bukannlah zamannya tetapi lebih kepada pandangan dan cara berpikir masyarakat khusunya para pemuda yang telah berhasil terinfeksi. Bangsa ini harus sadar akan keluhuran budi yang selama ini diagungkan sebagai kepribadian bangsa yang dapat dijadikan kontrol. Adalah hal yang bijak untuk tidak membatasi arus informasi, karena bagaimanapun kita tidak dapat menutup diri dari dinamika dunia karena kita memang bagian dari masyarakat dunia. Namun, seberapapun banyaknya kebudayaan asing yang masuk harus terlebih dahulu melewati berbagai proses sehingga dapat terlihat dengan jelas mana-mana saja yang dapat diambil segi positifnya. Perbedaan budaya akan selalu ada termasuk dalam bangsa Indonesia sendiri yang dikenal dengan kemajemukannya, akan tetapi perbedaan itu tidak seharunya dijadikan batu ganjalan untuk kita dalam menjaga keaslian bumi pertiwi. Sudah saatnya pemuda Indonesia bangkit dan menatap masa depan tanpa mematikan sendi-sendi kebudayaan dalam negeri. Pemuda dan hari Kebangkitan adalah satu, karena tanpa pemuda tidak akan pernah ada hari kebangkitan. Begitupun sebaliknya, tanpa hari Kebangkitan, pemuda dan perjuangannya adalah omong kosong belaka !
Kamis, 21 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar